Dukacita sepeninggal seorang yang berarti dalam hidup kita adalah hal yang wajar. Kita jangan merasa malu atau berpikir bahwa kita kurang beriman, apabila bila kesedihan atau amarah muncul di dalam diri kita karena seorang yang kita cintai telah berpulang.
Sebuah ungkapan bijaksana bagi mereka yang sedang berduka adalah: “Biarkan diri Anda berduka.”
Kadang kala kita ingin memberi kesan bahwa kita kuat kepada orang lain, termasuk menyenangkan mereka yang berkata kepada kita: “Sudahlah, jangan lagi bersedih.” Namun akan lebih berguna bagi kita apabila kita mengakui pada diri kita sendiri dan orang lain bahwa kita “sedang berduka.”
Kita tidak bisa mengingkari rasa dukacita. Tidak dengan menyibukkan diri kita, tidak pula dengan menganggapnya tidak ada. Kita perlu mengingat bahwa dukacita adalah bagian dari hidup, baik laki-laki atau perempuan, dan perlu waktu untuk melewatinya.
Ketika sedang berduka, kita perlu memahami bahwa diri kita sedang menghadapi proses yang rumit. Berbagai tekanan emosi akan kita rasakan, dan sering kali semua itu mempengaruhi pekerjaan dan hubungan kita dengan orang lain. Kita perlu mengetahui bahwa ada berbagai macam perasaan yang dapat menyertai rasa dukacita: kesedihan, amarah, rasa sepi, rasa kehilangan, rasa bersalah, rasa tidak berdaya, mengasihani diri sendiri, depresi, frustrasi, bahkan iman kita terasa lemah. Namun dalam hal-hal itu, hendaklah kita tetapi yakin bahwa pada waktunya dukacita yang kita alami akan tergantikan dengan sukacita yang berasal dari Tuhan.
Menghadapi rasa dukacita berarti kita menerima bahwa kita telah kehilangan. Bagi sebagian orang dukacita dapat berlangsung selama setahun atau dua tahun, ada yang memakan waktu lebih. Berilah diri kita untuk melaluinya dengan tabah.
Temukanlah dukungan dari orang-orang disekitar kita, teristimewa mereka yang telah melalui hal ini. Mereka mengerti ketika air mata mengalir di pipi kita, dan mereka tahu bahwa membiarkan diri kita menangis meringankan rasa sedih di dalam hati kita. Jangan takut untuk menangis, Tuhan merancangkan air mata juga untuk membantu kita menghadapi rasa dukacita.
Jika kita mendapati amarah membungkus rasa dukacita kita, biarkanlah amarah itu mengalir keluar. Jangan kita memendamnya di dalam hati. Ungkapkanlah amarah kita itu dalam kata-kata yang nyaring, dan jikalau melempar batu ke laut dapat mengekspresikan amarah kita, lakukanlah. Sampaikan juga amarah kita kepada Tuhan, Tuhan memahami semua itu. Dengan mengakui amarah kita, kita membuka jalan untuk memberi pengampunan. Pengampunan adalah cara kita membuka tangan untuk menerima kedamaian bagi diri kita sendiri.
Jika rasa dukacita kita membuat kita merasa depresi, kita perlu memahami bahwa hari-hari kita akan terasa sangat sulit, namun teruslah maju. Hargailah sekalipun hal-hal kecil yang kita lakukan setiap hari. Perlakukan diri kita seperti apa yang akan kita lakukan kepada orang lain yang mengalami apa yang kita alami, dan temuilah orang yang dapat mendengarkan keluhan kita, dan memberi kita support.
Akan datang saatnya di mana luka di dalam hati kita akan penuh terbalut, dan kenangan-kenangan yang menggugah rasa dukacita kita, akan menjadi rasa terima kasih dan penghargaan akan kenangan-kenangan itu, serta orang yang telah menjadi bagian penting dalam hidup kita.
Karena Tuhan memahami apa arti dukacita. Itu sebabnya kita bisa meminta seperti Pemazmur: Jiwaku menangis karena duka hati, teguhkanlah aku sesuai dengan firman-Mu. Maz 119:28.
Diadaptasi dari: Giving Yourself Permission to Grieve by Carol Luebering
1 comment:
terima kasih pak atas pencerahannya.
Post a Comment